Kamis, 29 Desember 2011

manfaat membaca buku bekas


Membaca,pasti sudah menjadi istilah yang akrab di kalangan siswa siswi,kakak² mahasiswa mahasiswi.Dan membaca pun pasti berhubungan erat dengan buku.
Sebenarnya apa yang mau saya bahas di postingan ini ? Lihat aja judulnya,hehe :)
Sebenarnya apa manfaat membaca ? Sangat,sangat,sangat banyak.Karena dengan membaca kita bisa tahu (sangat) banyak hal,seperti dijelaskan dalam pepatah,Membaca buku berarti membuka jendela dunia.
Dari membaca,kita bisa tahu bermacam macam hal,kita bisa tahu kalo Pangeran William udah kawin,kita bisa tahu sosok depan Kampus Sorbonne,kita bisa tahu toilet di Harvard gimana,dsb.
Dari membaca juga kita bisa mendapatkan banyak ilmu dan referensi,contohnya kakak² mahasiswa yang sedang membuat Tugas Akhir,pasti mereka banyak mencari bahan referensi dari Si Buku itu,hehe.
Membaca itu bisa membantu kita mengatasi beberapa kendala kita.
Bagaimana agar kita terbiasa membaca ?
Menurut pendapat saya,umumnya itu tergantung dari pengarahan orang tua sejak si anak kecil.
Hanya sekedar sharing pengalaman,waktu saya kecil dulu (kurang lebih umur 3 tahun),saya sering diajak Bapak saya mampir ke Toko Gunung Agung di Plaza Borobudur Bekasi Timur (jangan ditanya keadaannya,masih belum sebagus sekarang !)
Di sana saya dikasih tahu bapak,Apa itu Buku ? Manfaatnya Apa ? dsb.
Dari arahan orang tua itu,akhirnya minat baca saya terlihat. (Walaupun pas itu saya beli buku cuma dilihat gambarnya,hehe)
Kelas 1 SD, saya sudah mulai fasih membaca,dan saya semakin hobi membaca.Dan Akhirnya sampai kelas 2 SMP ini,hobi membaca saya sudah sangat akut.Buku tebel pun saya baca,asalkan itu isinya menarik,hehe :)
Buat yang gak hobi baca,gimana dong ?
Buat yang tidak hobi membaca,biasakanlah membaca dari sekarang.
Di Sekolah kalian ada Perpustakaan ? Mampirlah kesana setiap hari.
Di Samping sekolah kalian ada Toko Buku ? Mampir !
Di Deket rumah kalian ada bursa buku bekas ? Kesana !
Intinya,dimanapun tempatnya,kapanpun waktunya,tetap biasakan membaca.Ingat,membaca itu banyak gunanya. ;)

Selasa, 27 Desember 2011

Malam-Malam Nina

Cerpen Lan Fang

Ini sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.

Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.

Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.

Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.

Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.

Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini.

"Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.

Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.

"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.

Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.

Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?

Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?

Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.

Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.

Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina.

"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya.

"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.

Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.

Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.

Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Nina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.

Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.

"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar.

"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa.

"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.

Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.

Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.

"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.

Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku.

"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."

Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.

Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.

"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.

"Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.

"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.

Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.

Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.

"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?

"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.

Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia."

"Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"

Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.

Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.

"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.

Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa.

"Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.

Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!

Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.

Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.

Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…

"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.

Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"

"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"

Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?

Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.

Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.

Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu. **

Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Cirendeu 1-3-03
SEJARAH KERAJAAN BULUNGAN
(Oleh: Sugeng Arianto, S.Pd.)
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan folk history (sejarah kolektif).
A. Masa Pemerintahan Yang Dipim-pin Oleh Kepala Adat
Kuwanyi, adalah nama seorang pemimpin suku bangsa Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama Sungai Kayan.
Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.
Kisah Jauwiru dan Lemlasi Suri kini diabadikan dengan didirikannya sebuah monumen “telor Pecah”. Monumen tersebut terletak di antara jalan sengkawit dan jelarai, yang mengingatkan kita tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.
Bulungan, berasal dari perkataan “Bulu Tengon” (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan.
Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan.
Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “Lungun” yaitu peti matinya diletakkan di sebelah hilir sungai Kipah. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (bersairuk). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudanya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara. Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. Tanjung hanyut itu sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun, artinya Pulau Hanyut.
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari Kota Tanjung Selor ibu kota daerah Bulungan sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung Long Mara, Antutan dan Pimping.
Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei, yaitu Datuk Mencang.
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya kerajaan Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan tersebut.
B. Masa Pemerintahan Yang Dipim-pin Oleh Kesatria/Wira.
Setelah Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang (1555-1594), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan, pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.
Datuk Mencang digantikan oleh menantunya yang bernama Singa Laut, yang memerintah tahun 1594-1618.
Untuk pemerintahan selanjutnya adalah Wira Kelana, putra Singa Laut yang memerintah tahun 1618-1640.
Wira Keranda menggantikan ayahnya, Wira Kelana sebagai raja dan memerintah pada tahun 1640-1695.
Pemerintahan selanjutnya adalah Wira Digendung, putra Wira Kelana yang memerintah pada tahun 1695-1731.
Wira Digendung digantikan oleh putranya bernama Wira Amir alias Sultan Amiril Mukminin yang memerintah pada tahun 1731-1777.
C. Masa Pemerintahan Yang Dipim-pin Oleh Seorang Sultan.
Sultan Amiril Mukminin kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Alimuddin dan memerintah pada tahun 1777-1817.
Sultan Muhammad Kaharuddin menggantikan ayahnya dan memerintah pada tahun 1817-1861. kemudian memerintah lagi pada tahun 1866-1873. Sebenarnya ia telah menyerahkan pemerintahan pada anak pertamanya, Sultan Djalaluddin I. Namun oleh karena sering sakit-sakitan maka kekuasaan pemerintahan diambil alih kembali.
Pemegang kekuasaan selanjut-nya adalah Sultan Kalifatul Alam Muhammad Adil (1873-1874). Ia dikenal sebagai ulama yang memiliki banyak pengikut, dan senantiasa menentang kebijakan kerjasama dengan Belanda. Sultan Kalifatul Alam Muhammad Adil mengabaikan seluruh perjanjian yang pernah dilakukan dengan Belanda. Akhirnya ia meninggal dalam suatu perjamuan makan yang diselengga-rakan oleh Belanda.
Sultan Kaharuddin (1874-1889). Pada masa pemerintahannya telah terjalin kerjasama dengan Belanda yang ditandai dengan adanya perjanjian kerjasama (Konterverklaring de tweede II). Pokok perjanjiannya, Belanda dapat menentukan kebijakan Sultan Bulungan termasuk urusan pajak, dan Sultan Kaharuddin terjamin keamanannya. Hal tersebut adalah merupakan langkah awal dari strategi Belanda untuk melakukan penekanan-penekanan yang merugikan rakyat.
Sultan Azimuddin (1889-1899). Meskipun ia bukan putra kandung Sultan Kaharuddin II, pengukuhannya sebagai sultan didukung oleh Gubernur Jenderal Belanda dan mendapat pengesahan melalui Surat Keputusan tertanggal 4 Desember 1889.
Pengian Kesuma (1899-1901) biasa dipanggil dengan sebutan Putri Sibut. Ia adalah istri Sultan Azimuddin. Ia memegang kekuasaan selama 2 tahun.
Sultan Kasimudin (1901-1925). Ia meninggal karena tertembak.
Datu Mansyur (1925-1930). Sesungguhnya ia hanyalah pemangku jabatan sultan. Seharusnya pengganti Sultan Kasimudin adalah Sultan Ahmad Sulaiman yang waktu itu sedang mengikuti pendidikan Holands Inlandsche School (HIS) di Samarinda dan Medan.
Sultan Ahmad Sulaiman (1930-1931), menduduki jabatan setelah pulang dari mengikuti pendidikan Inlandsche School (HIS) di Samarinda dan Medan, dan menjalankan pemerintahan selama sembilan bulan.
Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin II (1931-1958). Adalah Sultan Bulungan yang terakhir. Ia membangun istana baru yang disebut dengan Istana III. Meninggal pada tanggal 21 Desember 1958.
Pulau Bangka

Awal Mula Pulau Bangka

Pulau Bangka adalah pulau besar yang dikeliling oleh banyak pulau-pulau kecil, menyimpan banyak cerita sejarah dan peradaban yang besar sejak zaman dahulu. Letaknya yang strategis dengan kekayaan alam yang melimpah sejak pertama kali mampu direkam oleh catatan sejarah membuktikan bahwa Pulau Bangka adalah pulau yang bernilai historisitas tinggi.

Sebagai bagian dari sejarah besar, runtutan peristiwa yang pernah terjadi yang berkaitan dengan daerah ini juga menjadi perdebatan. Tidak saja perdebatan berkaitan dengan sejarah mula secara geografis, tetapi juga interaksi masyarakat didalamnya yang masih terus diperdebatkan oleh para peneliti dan tetua masyarakat didalamnya. Perdebatan tentang asal-usul kata Bangka sendiri adalah perdebatan yang belum final hingga sekarang.

Banyak versi yang mencoba memberikan interpretasi atas kata bangka, namun bukti fisik tentang asal-usul kata ini sendiri belum ditemukan kecuali usaha banyak ahli untuk menghubungkan analisis mereka dengan berbagai peristiwa. Versi sejarah yang tampaknya paling kuat adalah versi sejarah Kota Kapur. Ditemukannya bukti sejarah otentik berupa prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 masehi memulai perdebatan tersebut secara ilimiah. Prasasti yang ditemuka di Sungai Menduk (Kabupaten Bangka Barat Sekarang) tersebut berisikan 240 kata bahasa Sanskerta. Prasasti tersebut berisi tentang peringatan kepada masyarakat di wilayah Kerajaan Sriwijaya tentang larangan untuk melakukan pemberontakan. Peringatan tersebut jelas dibuat oleh penguasa kerajaan Sriwijaya pada masa itu sehingga dipekirakan bahwa Pulau Bangka pada masa Kerajaan Sriwijaya telah menjadi pusat aktivitas yang ramai. Dalam prasasti Kota Kapur, sama sekali tidak disebutkan kata Bangka. Namun para ahli sejarah banyak menghubungkan Bahasa Sanskerta yang digunakan pada prasasti Kota Kapur dengan kata vanca yang kemudian mengalami perubahan kata menjadi Bangka tampaknya bisa diterima dengan nalar.

Versi lain menyebutkan bahwa kata Bangka berasal dari kata Bangkai yang menunjukan bahwa kata bangka adala tempat pmbuangan bangkai pada masa penjajahan. Meski demikian, asal-usul kata ini tidak memiliki bukti ilmiah sehingga anlisis versi Kota Kapur di atas lebih bisa diterima oleh masyarakat kebanyakan. Sebuah majalah pada tahun 1846 yang bernama Tijdschrift voor Nederlandsch Indie memuat tulisan bahwa daerah yang disebut Banca adala pulau yang dulunya bernama Chinapata atau China-Batto (Chinapata diduga adala daerah yang dulu pernah dilaporkan oleh seorang pelaut bernama Jans Huyghens van Linschoteen pada tahun 1595 di Amsterdam). Dulu daerah yang disebut Banca mencakup Palembang dan meluas ke arah barat yang kemudian disebut Bangka-Hulu dan kemudian mengalami perubaha dialek menjadi Bengkulu sekarang ini. Ke arah Sumatera Timur, terdapat daerah yang bernama Bangka yang keyakinan banyak orangbtentang kemungkinan ini tidak nampak terlau besar sehingga belakangan banyak orang yang bahkan tidak pernah mendengar cerita ini.


Pulau Bangka dan Sejarah

Belanda pertama kali mendarat di Nusantara tepatnya di Banten Pulau Jawa pada tahun 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Cukup lama setelah itu belanda baru melirik Pulau Bangka sebaga salah satu daerah potensial penghasil timah. Ketika Belanda ingin masuk ke Pulau Bangka daerah ini masuk pada kekuasaan Kesultanan Palembang. Hubungan pertama antara VOC dan daerah Bangka Belitung terjadi pertama kalinya pada tahun 1668. Pulau Bangka pada masa itu berada dibawah kekuasaan Sultan Abdurrachman.

Sebuah catatan kontrak antara Belanda dan Sultan Palembang pada tanggal 10 juli 1668 sebagaimana disebutkan dalam buku Kepulauan Bangka Belitung dengan editor Achmad Sahabudin, dan kawan-kawan (2003) menyebutkan bahwa Kesultanan Palembang mengakui Belanda dengan usaha monopoli timahnya dan Belanda akan mlindungi Kesultanan Palembang. Berikutnya pada tahun 1722, Kesultanan Palembang yang berada dibawah pemerintahan Sultan Mahmud Kamarudin mengadakan perjanjian yang berisi ketentuan bahwa VOC memegang hak monopoli perdagangan atas timah. Tahun-tahun setelahnya menunjukan hubungan dagang Belanda dan Kesultanan Palembang berlangsung sangat buruk, sebagai mana Ratu Mahmud Kamarudin gagal memerintah internalnya.


Awal Penambangan Timah

Penemuan timah petama kali di pulau Bangka memiliki beberapa versi. Setidaknya catatanya yang ditulis oleh Heidhues menyebutkan tiga versi penemuan, yakni pada tahun 1707, 1709, dan tahun 1711. timah pada masa awal penemuan tersebut merupakan komoditas yang sangat mudah dilihat karena timah terdapat dimana-mana. Horsfield dalam Heidhues mengatakan bahwa timah dengan mudah terlihat ketika penduduk setempat melakukan pembakaran ladang-ladang ubtuk ditanami oleh penduduk setempat. Logam timah tampak meleleh ketika penduduk melakukan pembakaran.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya timah pada masa awal abad ke-17 merupakan sebuah komoditas yang midah didapatkan. Hal ini menandakan betapa banyak kandungan timah yang ada di Pulau ini. Apalagi masa penambangan timah yang berlangsung selama 4 abad lebih dan hingga kini masa banyak penambangan timah yang dilakukan di berbagai tempat oleh penduduk dan beberapa perusahaan besar. Orang yang dianggap memperkenalkan penambangan timah di Pulau Bangka adalah orang-orang johor yang memiliki garis keturunan Cina yang beragama Islam dan juga merupakan kerabat Kesultanan Palembang. Abdulhayat dalam keluarga tersebut dan laki-lakinya yang bernama Wan Akub merupaka nama-nama yang banyak disebut dan dianggap merupaka orang-orang yang mempelopori penemuan timah di Mentok dan Pulau Bangka pada umumnya. Heidhues menyebutkan bahwa pada masuknya Orang-Orang johor tersebut, juga datang seorang Cina bernama Oen Asing (Boen Asiong) yang melakukan penambangan timah di kampung Belo Mentok. Orang ini pula yang melakukan berbagai macam gerakan pembaruan dalam penambangan timah. Didatangkan pada masa itu pekerja dari Cina, memperkenalkan penambangan timah dengan menggunakan mesin, teknik perapian untuk membakar timah yang lebih efisien, dan melakukan standarisasi bentuk dan berat timah.

Pada masa ini pula penambangan timah di Bangka mengenal istilah kuli dan kongsi. Kuli dalam ejaan lama koeli berasal dari bahasa Tamil yang artinya orang yang disewa. Sedangkan kongsi berasal dari bahasa Hakka, yaitu kwung-sze yang artinya penanganan atas dasar usaha usaha dan kepentingan bersama dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi bersama. Mulai dipekenalkan pula istilah tauke atau towkay yang artinya bos dan sinkeh yang artinya kuli Cina yang terikat pada tahun pertama dan bebas pada tahun kedua dan seterusnya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sejarah penambangan timah pada abad ke-17 dan setelahnya adalah sejarah penambangan timah yang dilakukan oleh orang-orang Cina. Impor pekerja Cina dalam jumlah besar-besaran menyebabkan penduduk Bangka hingga sekarang juga banyak diwarnai kehidupan orang-orang Cina yang mula-mula datang untuk bekerja sebagai penambang pada akhirnya ikut memberikan andil dalam proses perkembangan kultural masyarakat lokal.

Tidak mengherankan jika saat ini penduduk Cina di Pulau Bangka mencapai 30 persen dari total jumlah penduduk propinsi ini. Sebagai salah satu bukti bahwa masyarakat etnis Cina sudah ada sejak dulu, masyarakat etnis Cina dapat dijumpai di berbagai pelosok di daerah Pulau ini. Sebutlah misalnya Mentok, Pangkalpinang, Toboali, Sungailiat, Belinyu, Koba, Sungiselan Jebus dan kampung-kampung kawasa penambang timah berpenduduk ramai.


Penduduk Asli Pulau Bangka

Definisi tenteng penduduk asli Pulau Bangka hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa penduduk asli Pulau ini adalah Suku Melayu, padahal pembahasan sebelumnya nyebutkan bahwa Suku Melayu adalah eksodus secara perlahan-lahan penduduk yang datang dari kerajaan johor dan Kerajaan Lingga-Riau.

Sejarah dipulau ini juga diwarnai dengan kedatangan orang-orang bugis yang menjadi lanun dan menguasai dan menguasai pulau-pulau kecil dan daerah pesisir Bangka. Cina juga adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan perjalanan perkembangan demografis pulau ini. Sebuah buku yang ditebitkan pada tahun 1954 (anonim) berjudul Republik Indonesia Propinsi Sumatera Selatan menuliskan bahwa penduduk asli Pulau Bangka adalah mereka yang merupakan hasil pertalian perkawinan antara pelaut-pelaut yang datang dari Jawa, Palembang, Minangkabau, dan Bugis yang menjelma menjadi penduduk asli yang baru. Jadi tampaknya Pulau Bangka dan Belitung pada mulanya tidak berpenghuni, melainkan didatangi oleh penduduk dari daerah lain dan kemudian membentuk kultur khas daerah ini.

Pada sekitar pertengahan abad ke-17, pasukan dari Kerajaan johor dan Kerajaan Minang datang untuk membantu penguasa setempat menumpas para lanun-lanun yang mengganggu aktivitas masyarakat. Kedua Kerajaan ini mendarat di Toboali dimana kemudian Kerajaan Minang menetap dan mempengaruhi budaya dan bahasa peduduk setempat, sedangkan Pasukan dari Kerajaan johor menuju Mentok dan kemudian menetap serta memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan budaya dan bahasa penduduk Mentok dan sekitarnya.

Pengaruh Kerajaan Minang di Toboali sangat terasa hingga sekarang, misalnya dari sudut bahasa yang cenderung mengganti huruf S dengan H. Hal ini dapat di indetifisikasi pada penggunaan bahasa yang digunakan di Minang. Pengaruh lain misalnya pada tradisi makanan seperti lemang di Toboali yang merupakan makanan khas Minang. Sedangkan pengaruh Melayu Johor yang sangat kuat ditampakkan pada ciri khas ke-Melayu-an yang sangat kental di Mentok, misalnya pada bahasa yang cenderung menggunakan E pepet, tradisi masyarakat Mentok juga mengidentifikasikan diri dengan tradisi Melayu Malaysia. Sementara itu, Heidhues menyebutkan bahwa seorang pejabat Belanda bernama J. Van den Bogaart datang ke Pulau Bangka pada tahun 1803 membagi penduduk Bangka pada waktu itu dalam 4 kasta, yaitu :
  • Cina,
  • Melayu,
  • Orang Bukit (disebut juga Orang Gunung/Orang Darat),
  • Orang Laut (Orang sekak)
Pulau Bangka

Awal Mula Pulau Bangka

Pulau Bangka adalah pulau besar yang dikeliling oleh banyak pulau-pulau kecil, menyimpan banyak cerita sejarah dan peradaban yang besar sejak zaman dahulu. Letaknya yang strategis dengan kekayaan alam yang melimpah sejak pertama kali mampu direkam oleh catatan sejarah membuktikan bahwa Pulau Bangka adalah pulau yang bernilai historisitas tinggi.

Sebagai bagian dari sejarah besar, runtutan peristiwa yang pernah terjadi yang berkaitan dengan daerah ini juga menjadi perdebatan. Tidak saja perdebatan berkaitan dengan sejarah mula secara geografis, tetapi juga interaksi masyarakat didalamnya yang masih terus diperdebatkan oleh para peneliti dan tetua masyarakat didalamnya. Perdebatan tentang asal-usul kata Bangka sendiri adalah perdebatan yang belum final hingga sekarang.

Banyak versi yang mencoba memberikan interpretasi atas kata bangka, namun bukti fisik tentang asal-usul kata ini sendiri belum ditemukan kecuali usaha banyak ahli untuk menghubungkan analisis mereka dengan berbagai peristiwa. Versi sejarah yang tampaknya paling kuat adalah versi sejarah Kota Kapur. Ditemukannya bukti sejarah otentik berupa prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 masehi memulai perdebatan tersebut secara ilimiah. Prasasti yang ditemuka di Sungai Menduk (Kabupaten Bangka Barat Sekarang) tersebut berisikan 240 kata bahasa Sanskerta. Prasasti tersebut berisi tentang peringatan kepada masyarakat di wilayah Kerajaan Sriwijaya tentang larangan untuk melakukan pemberontakan. Peringatan tersebut jelas dibuat oleh penguasa kerajaan Sriwijaya pada masa itu sehingga dipekirakan bahwa Pulau Bangka pada masa Kerajaan Sriwijaya telah menjadi pusat aktivitas yang ramai. Dalam prasasti Kota Kapur, sama sekali tidak disebutkan kata Bangka. Namun para ahli sejarah banyak menghubungkan Bahasa Sanskerta yang digunakan pada prasasti Kota Kapur dengan kata vanca yang kemudian mengalami perubahan kata menjadi Bangka tampaknya bisa diterima dengan nalar.

Versi lain menyebutkan bahwa kata Bangka berasal dari kata Bangkai yang menunjukan bahwa kata bangka adala tempat pmbuangan bangkai pada masa penjajahan. Meski demikian, asal-usul kata ini tidak memiliki bukti ilmiah sehingga anlisis versi Kota Kapur di atas lebih bisa diterima oleh masyarakat kebanyakan. Sebuah majalah pada tahun 1846 yang bernama Tijdschrift voor Nederlandsch Indie memuat tulisan bahwa daerah yang disebut Banca adala pulau yang dulunya bernama Chinapata atau China-Batto (Chinapata diduga adala daerah yang dulu pernah dilaporkan oleh seorang pelaut bernama Jans Huyghens van Linschoteen pada tahun 1595 di Amsterdam). Dulu daerah yang disebut Banca mencakup Palembang dan meluas ke arah barat yang kemudian disebut Bangka-Hulu dan kemudian mengalami perubaha dialek menjadi Bengkulu sekarang ini. Ke arah Sumatera Timur, terdapat daerah yang bernama Bangka yang keyakinan banyak orangbtentang kemungkinan ini tidak nampak terlau besar sehingga belakangan banyak orang yang bahkan tidak pernah mendengar cerita ini.


Pulau Bangka dan Sejarah

Belanda pertama kali mendarat di Nusantara tepatnya di Banten Pulau Jawa pada tahun 1596 dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Cukup lama setelah itu belanda baru melirik Pulau Bangka sebaga salah satu daerah potensial penghasil timah. Ketika Belanda ingin masuk ke Pulau Bangka daerah ini masuk pada kekuasaan Kesultanan Palembang. Hubungan pertama antara VOC dan daerah Bangka Belitung terjadi pertama kalinya pada tahun 1668. Pulau Bangka pada masa itu berada dibawah kekuasaan Sultan Abdurrachman.

Sebuah catatan kontrak antara Belanda dan Sultan Palembang pada tanggal 10 juli 1668 sebagaimana disebutkan dalam buku Kepulauan Bangka Belitung dengan editor Achmad Sahabudin, dan kawan-kawan (2003) menyebutkan bahwa Kesultanan Palembang mengakui Belanda dengan usaha monopoli timahnya dan Belanda akan mlindungi Kesultanan Palembang. Berikutnya pada tahun 1722, Kesultanan Palembang yang berada dibawah pemerintahan Sultan Mahmud Kamarudin mengadakan perjanjian yang berisi ketentuan bahwa VOC memegang hak monopoli perdagangan atas timah. Tahun-tahun setelahnya menunjukan hubungan dagang Belanda dan Kesultanan Palembang berlangsung sangat buruk, sebagai mana Ratu Mahmud Kamarudin gagal memerintah internalnya.


Awal Penambangan Timah

Penemuan timah petama kali di pulau Bangka memiliki beberapa versi. Setidaknya catatanya yang ditulis oleh Heidhues menyebutkan tiga versi penemuan, yakni pada tahun 1707, 1709, dan tahun 1711. timah pada masa awal penemuan tersebut merupakan komoditas yang sangat mudah dilihat karena timah terdapat dimana-mana. Horsfield dalam Heidhues mengatakan bahwa timah dengan mudah terlihat ketika penduduk setempat melakukan pembakaran ladang-ladang ubtuk ditanami oleh penduduk setempat. Logam timah tampak meleleh ketika penduduk melakukan pembakaran.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebenarnya timah pada masa awal abad ke-17 merupakan sebuah komoditas yang midah didapatkan. Hal ini menandakan betapa banyak kandungan timah yang ada di Pulau ini. Apalagi masa penambangan timah yang berlangsung selama 4 abad lebih dan hingga kini masa banyak penambangan timah yang dilakukan di berbagai tempat oleh penduduk dan beberapa perusahaan besar. Orang yang dianggap memperkenalkan penambangan timah di Pulau Bangka adalah orang-orang johor yang memiliki garis keturunan Cina yang beragama Islam dan juga merupakan kerabat Kesultanan Palembang. Abdulhayat dalam keluarga tersebut dan laki-lakinya yang bernama Wan Akub merupaka nama-nama yang banyak disebut dan dianggap merupaka orang-orang yang mempelopori penemuan timah di Mentok dan Pulau Bangka pada umumnya. Heidhues menyebutkan bahwa pada masuknya Orang-Orang johor tersebut, juga datang seorang Cina bernama Oen Asing (Boen Asiong) yang melakukan penambangan timah di kampung Belo Mentok. Orang ini pula yang melakukan berbagai macam gerakan pembaruan dalam penambangan timah. Didatangkan pada masa itu pekerja dari Cina, memperkenalkan penambangan timah dengan menggunakan mesin, teknik perapian untuk membakar timah yang lebih efisien, dan melakukan standarisasi bentuk dan berat timah.

Pada masa ini pula penambangan timah di Bangka mengenal istilah kuli dan kongsi. Kuli dalam ejaan lama koeli berasal dari bahasa Tamil yang artinya orang yang disewa. Sedangkan kongsi berasal dari bahasa Hakka, yaitu kwung-sze yang artinya penanganan atas dasar usaha usaha dan kepentingan bersama dengan tujuan mendapatkan keuntungan ekonomi bersama. Mulai dipekenalkan pula istilah tauke atau towkay yang artinya bos dan sinkeh yang artinya kuli Cina yang terikat pada tahun pertama dan bebas pada tahun kedua dan seterusnya.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sejarah penambangan timah pada abad ke-17 dan setelahnya adalah sejarah penambangan timah yang dilakukan oleh orang-orang Cina. Impor pekerja Cina dalam jumlah besar-besaran menyebabkan penduduk Bangka hingga sekarang juga banyak diwarnai kehidupan orang-orang Cina yang mula-mula datang untuk bekerja sebagai penambang pada akhirnya ikut memberikan andil dalam proses perkembangan kultural masyarakat lokal.

Tidak mengherankan jika saat ini penduduk Cina di Pulau Bangka mencapai 30 persen dari total jumlah penduduk propinsi ini. Sebagai salah satu bukti bahwa masyarakat etnis Cina sudah ada sejak dulu, masyarakat etnis Cina dapat dijumpai di berbagai pelosok di daerah Pulau ini. Sebutlah misalnya Mentok, Pangkalpinang, Toboali, Sungailiat, Belinyu, Koba, Sungiselan Jebus dan kampung-kampung kawasa penambang timah berpenduduk ramai.


Penduduk Asli Pulau Bangka

Definisi tenteng penduduk asli Pulau Bangka hingga kini masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa penduduk asli Pulau ini adalah Suku Melayu, padahal pembahasan sebelumnya nyebutkan bahwa Suku Melayu adalah eksodus secara perlahan-lahan penduduk yang datang dari kerajaan johor dan Kerajaan Lingga-Riau.

Sejarah dipulau ini juga diwarnai dengan kedatangan orang-orang bugis yang menjadi lanun dan menguasai dan menguasai pulau-pulau kecil dan daerah pesisir Bangka. Cina juga adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan perjalanan perkembangan demografis pulau ini. Sebuah buku yang ditebitkan pada tahun 1954 (anonim) berjudul Republik Indonesia Propinsi Sumatera Selatan menuliskan bahwa penduduk asli Pulau Bangka adalah mereka yang merupakan hasil pertalian perkawinan antara pelaut-pelaut yang datang dari Jawa, Palembang, Minangkabau, dan Bugis yang menjelma menjadi penduduk asli yang baru. Jadi tampaknya Pulau Bangka dan Belitung pada mulanya tidak berpenghuni, melainkan didatangi oleh penduduk dari daerah lain dan kemudian membentuk kultur khas daerah ini.

Pada sekitar pertengahan abad ke-17, pasukan dari Kerajaan johor dan Kerajaan Minang datang untuk membantu penguasa setempat menumpas para lanun-lanun yang mengganggu aktivitas masyarakat. Kedua Kerajaan ini mendarat di Toboali dimana kemudian Kerajaan Minang menetap dan mempengaruhi budaya dan bahasa peduduk setempat, sedangkan Pasukan dari Kerajaan johor menuju Mentok dan kemudian menetap serta memberikan pengaruh yang besar pada kehidupan budaya dan bahasa penduduk Mentok dan sekitarnya.

Pengaruh Kerajaan Minang di Toboali sangat terasa hingga sekarang, misalnya dari sudut bahasa yang cenderung mengganti huruf S dengan H. Hal ini dapat di indetifisikasi pada penggunaan bahasa yang digunakan di Minang. Pengaruh lain misalnya pada tradisi makanan seperti lemang di Toboali yang merupakan makanan khas Minang. Sedangkan pengaruh Melayu Johor yang sangat kuat ditampakkan pada ciri khas ke-Melayu-an yang sangat kental di Mentok, misalnya pada bahasa yang cenderung menggunakan E pepet, tradisi masyarakat Mentok juga mengidentifikasikan diri dengan tradisi Melayu Malaysia. Sementara itu, Heidhues menyebutkan bahwa seorang pejabat Belanda bernama J. Van den Bogaart datang ke Pulau Bangka pada tahun 1803 membagi penduduk Bangka pada waktu itu dalam 4 kasta, yaitu :
  • Cina,
  • Melayu,
  • Orang Bukit (disebut juga Orang Gunung/Orang Darat),
  • Orang Laut (Orang sekak)